Yurisdiksi Universal merupakan sebuah doktrin baru dalam lingkup hukum pidana internasional. Doktrin ini dimaksudkan agar pengadilan nasional negara tertentu bisa mengadili kasus kejahatan berat atau kejahatan serius berdasarkan hukum internasional. Proses pengadilan dalam doktrin yurisdiksi universal tidak memperdulikan locus, kebangsaan, atau kewarganegaraan pelaku/korban. Konsep dari yurisdiksi universal berkaitan erat dengan ide pemikiran bahwa beberapa norma internasional merupakan milik dari seluruh komunitas dunia, sama seperti prinsip jus cogens.
Meskipun bertujuan untuk menegakkan keadilan internasional, kelahiran dari doktrin yurisdiksi universal tidak terlepas dari kontroversi. Ada dua aspek kontroversi dalam perdebatan mengenai yurisdiksi universal. Yang pertama adalah aspek hukum, dan yang kedua adalah aspek politis. Dalam aspek pertama, perdebatan yang muncul adalah “apakah pelaksanaan doktrin yurisdiksi universal ini diperbolehkan oleh hukum kebiasaan internasional?”. Sedangkan dalam aspek yang kedua, perdebatannya “Apakah pelaksanaan yurisdiksi universal dimaksudkan untuk tujuan politis tertentu?”.
Perdebatan dalam aspek hukum, belum dapat ditemukan jawaban yang pasti. Para ahli yang menangani yurisdiksi universal melalui proyek Princeton Principles, menyatakan bahwa kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi universal merupakan kejahatan yang telah diakui oleh hukum internasional. Kejahatan yang dimaksud antara lain pembajakan, perbudakan, kejahatan perang, kejahatan melawan perdamaian, kejahatan melawan kemanusiaan, genosida, penyiksaan. Namun pendapat yang mengomentari konsep ini mengatakan bahwa, meskipun yurisdiksi universal dapat ditemukan melalui perjanjian internasional, peraturan perundang-undangan nasional, pendapat hukum, dan pendapat pakar, namun belum ada konsep yang sama mengenai yurisdiksi universal. Bahkan beberapa pendapat tidak menyepakati bahwa yurisdiksi universal telah ada dalam hukum kebiasaan internasional.
Perdebatan dalam aspek politis juga belum menemukan jawaban yang sampai pada kata sepakat. Menurut Hans Köchler, yurisdiksi universal akan sarat dengan intervensi politis. Sebagai contoh, pengadilan kriminal internasional ad hoc seperti International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) yang dibentuk oleh Security Council (Dewan Keamanan PBB) tidak pernah menjadi pengadilan yang independen. Pendapat ini diperkuat dengan argumen dari Benjamin Ferencz, yang pernah menjadi anggota dari tim Nuremberg Tribunal, yaitu “How could the veto power and the prosecutorial role of the Security Council be reconciled with a fair and impartial trial?”.
Perdebatan-perdebatan yang muncul baik dari aspek hukum maupun politis, mempertegas bahwa yurisdiksi universal memang tidak sepenuhnya bermaksud untuk menegakkan keadilan secara internasional. Namun ada aspek-aspek politis tertentu yang muncul dalam praktek ini.
Tokoh-tokoh yang menjadi target dalam pelaksanaan yurisdiksi universal antara lain : Victor Bout, Radovan Karadzic, Bob Kerrey, Henry Kissinger, Ratko Mladic, Augusto Pinochet, Ariel Sharon, Charles Taylor, Joseph Kony, Wiranto.
Wiranto merupakan salah satu target pelaksanaan yurisdiksi universal, karena dianggap bertanggung jawab terhadap pembunuhan kurang lebih 1000 orang rakyat Timor Timur. Kejadian ini berlangsung ketika Timor Timur sedang melaksanakan referendum untuk menentukan kemerdekaan atau integrasi dengan Indonesia.
Meskipun bertujuan untuk menegakkan keadilan internasional, kelahiran dari doktrin yurisdiksi universal tidak terlepas dari kontroversi. Ada dua aspek kontroversi dalam perdebatan mengenai yurisdiksi universal. Yang pertama adalah aspek hukum, dan yang kedua adalah aspek politis. Dalam aspek pertama, perdebatan yang muncul adalah “apakah pelaksanaan doktrin yurisdiksi universal ini diperbolehkan oleh hukum kebiasaan internasional?”. Sedangkan dalam aspek yang kedua, perdebatannya “Apakah pelaksanaan yurisdiksi universal dimaksudkan untuk tujuan politis tertentu?”.
Perdebatan dalam aspek hukum, belum dapat ditemukan jawaban yang pasti. Para ahli yang menangani yurisdiksi universal melalui proyek Princeton Principles, menyatakan bahwa kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi universal merupakan kejahatan yang telah diakui oleh hukum internasional. Kejahatan yang dimaksud antara lain pembajakan, perbudakan, kejahatan perang, kejahatan melawan perdamaian, kejahatan melawan kemanusiaan, genosida, penyiksaan. Namun pendapat yang mengomentari konsep ini mengatakan bahwa, meskipun yurisdiksi universal dapat ditemukan melalui perjanjian internasional, peraturan perundang-undangan nasional, pendapat hukum, dan pendapat pakar, namun belum ada konsep yang sama mengenai yurisdiksi universal. Bahkan beberapa pendapat tidak menyepakati bahwa yurisdiksi universal telah ada dalam hukum kebiasaan internasional.
Perdebatan dalam aspek politis juga belum menemukan jawaban yang sampai pada kata sepakat. Menurut Hans Köchler, yurisdiksi universal akan sarat dengan intervensi politis. Sebagai contoh, pengadilan kriminal internasional ad hoc seperti International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) yang dibentuk oleh Security Council (Dewan Keamanan PBB) tidak pernah menjadi pengadilan yang independen. Pendapat ini diperkuat dengan argumen dari Benjamin Ferencz, yang pernah menjadi anggota dari tim Nuremberg Tribunal, yaitu “How could the veto power and the prosecutorial role of the Security Council be reconciled with a fair and impartial trial?”.
Perdebatan-perdebatan yang muncul baik dari aspek hukum maupun politis, mempertegas bahwa yurisdiksi universal memang tidak sepenuhnya bermaksud untuk menegakkan keadilan secara internasional. Namun ada aspek-aspek politis tertentu yang muncul dalam praktek ini.
Tokoh-tokoh yang menjadi target dalam pelaksanaan yurisdiksi universal antara lain : Victor Bout, Radovan Karadzic, Bob Kerrey, Henry Kissinger, Ratko Mladic, Augusto Pinochet, Ariel Sharon, Charles Taylor, Joseph Kony, Wiranto.
Wiranto merupakan salah satu target pelaksanaan yurisdiksi universal, karena dianggap bertanggung jawab terhadap pembunuhan kurang lebih 1000 orang rakyat Timor Timur. Kejadian ini berlangsung ketika Timor Timur sedang melaksanakan referendum untuk menentukan kemerdekaan atau integrasi dengan Indonesia.
Comments
Post a Comment