Selasa kemarin terjadi bentrokan di sekitar kawasan Jalan Diponegoro – Salemba, yang menjadi salah satu tempat pergerakan mahasiswa di Jakarta. Pada mulanya, aparat dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berusaha untuk menurunkan spanduk protes yang dipasang oleh kawan-kawan dari GMKI Jakarta. Spanduk tersebut berisi kecaman tentang Perda Tibum yang berimplikasi pada sulitnya pedagang kaki lima (PKL) untuk berjualan di sekitar Jl. Diponegoro – Salemba. Sebagai salah satu elemen dari civil society sudah sewajarnya kawan-kawan dari GMKI Jakarta untuk melancarkan protes seperti pemasangan spanduk berisi nada kecaman. Tentunya hal ini tidak begitu saja muncul, karena kebijakan publik yang selama ini dikeluarkan oleh raja-raja kecil pemerintah daerah, seringkali hanya mampu untuk menambah masalah tanpa mampu memberikan solusinya. Solusi yang mereka pilih seringkali merupakan jalan kekerasan dan intimidasi yang dilancarkan melalui aparat seperti Satpol PP ataupun Polisi.
Semua masyarakat sudah tahu, bahwa kehadiran Satpol PP ataupun Polisi tidaklah memberikan manfaat yang berarti bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pajak-pajak yang telah dipotong dari penghasilan masyarakat untuk membayar membiayai operasional aparat pelayan publik terkesan dibuang percuma. Karena aparat bukannya MELINDUNGI dan MENGAYOMI, tetapi justru MENINDAS dan MEMERAS.
Contoh nyata selain kejadian yang baru berlangsung di Jakarta dapat ditemui di berbagai belahan bumi negeri ini. Bandung, sebagai kota tempat tinggal penulis, menjadi saksi bisu dari represifnya kelakuan aparat yang mengaku sebagai penegak hukum. Pasar Baru adalah salah satu titik yang selalu ramai dikunjungi oleh warga Bandung, yang tentunya menarik minat para pelaku usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM) untuk berusaha mencari untung karena kegiatannya tidak pernah didukung oleh penindas pemerintah. Ketika apa yang mereka lakukan berhasil untuk menghidupi keluarganya, membayar uang sekolah, membeli makanan, dan tempat tinggal, aparat (yang mendapatkan gaji bulanan secara rutin, belum lagi obyekan dari kanan-kiri) langsung menyerbu mereka dan tanpa nurani merebut semua barang dagangannya. Kemudian dengan santainya mereka mendapatkan penghasilan tambahan dari uang tebusan gerobak, etalase, dan semua barang yang telah mereka sita, dari penjual yang memang tidak punya usaha lain diluar yang selama ini mereka lakukan. Setelah mereka mendapatkan uang tebusan, mereka membiarkan para PKL itu untuk berjualan lagi di tempat yang sebelumnya telah dirazia untuk beberapa waktu lamanya. Setelah mereka merasa tidak memiliki lagi dana yang cukup untuk memperbesar perut mereka dengan alkohol setoran, mereka kembali merazia PKL dengan alasan telah ada Perda. Lagi-lagi setelah itu mereka mendapatkan uang tebusan dari barang-barang yang mereka sita.
Apa yang memicu terjadinya hal ini? Kenapa aparat bisa sedemikian represifnya?
Mudah. Ketika birokrasi kita masih menjadi birokrasi berbudaya suap, maka yang masuk menjadi anggota aparat adalah orang-orang yang menyuap birokrat-birokrat dengan uang tunai (pisang, sayur, buah-buahan, hasil kebun dan pertanian lainnya sudah tidak bisa lagi menjadi sogokan). Ketika tipe-tipe orang seperti ini yang masuk ke dalam pos pelayanan publik, maka paradigma yang terbentuk adalah bagaimana mengembalikan sogokan yang telah mereka berikan ke tikus-tikus birokrat-birokrat. Dalam istilah akademis-ilmiahnya, “balik modal”. Akhirnya bukan kepentingan publik yang mereka laksanakan, melainkan kepentingan predator atasan dan kepentingan pengerat diri sendiri.
Setelah proses suap-menyuap di tingkatan birokrasi ini berlangsung, ternyata para penegak hukum yang menyadari terjadinya praktik ini malah menutup mata. Akhirnya yang terjadi adalah lingkaran setan.
Aparat hukum yang frustasi karena belum balik modal dengan pekerjaannya, melampiaskan amarah kepada rakyat, dengan alasan tidak mematuhi hukum. Homo homini lupus, begitulah kata Hobbes. Tesis ini nampaknya ditelan mentah-mentah oleh oportunis aparat penegak hukum.
Kejadian di markas GMKI Jakarta, PP GMKI, dan PGI, menjadi contoh mutakhir dari kebiadaban represifnya aparat.
Hingga kapan mereka betah menjadi seperti ini?