Stok orang baik di Indonesia memang tidak banyak, dan justru menunjukkan grafik yang cenderung menurun dari segi kuantitas. Yang lebih tragis lagi, ketika stok orang baik yang tersisa sedang menjalankan usahanya, yang terjadi malah terenggutnya 21 nyawa masyarakat yang berusaha memperoleh uang sejumlah tiga puluh ribu rupiah. Itulah kenyataan yang terjadi di Pasuruan, Jawa Timur.
Fakta apakah yang direpresentasikan dari kejadian yang berlangsung di Jawa Timur? Apakah inti permasalahan dari kesenjangan yang begitu akut di Indonesia? Mengapa masyarakat Indonesia begitu mengharapkan belas kasihan dibandingkan berusaha secara mandiri untuk memperoleh keuntungan?
Selepas kepemimpinan Soeharto yang sangat represif, Indonesia memang tidak lagi dikenal sebagai “macan Asia”, seperti yang dikampanyekan oleh Prabowo Subianto. Ketika berlangsung era 1995-1997, Indonesia sedang berada di periode transisi antara negara berkembang dan negara maju. Istilah yang digunakan oleh Pemerintah saat itu, melalui program Pelita-nya, adalah “tinggal landas”, yang artinya Indonesia sudah meninggalkan label “negara berkembang”. Tapi realitanya, “pesawat” Indonesia justru gagal terbang, dan mengalami kecelakaan di lintasan pacu, karena “pesawat” yang dari luar nampak bagus justru memiliki kondisi yang berkebalikan apabila dilihat “onderdil” dalamnya.
Indonesia pada era tersebut memang sedang menikmati kejayaan artifisial, yang dibangun oleh rezim lama dengan utang dan kerelaan untuk digerogoti melalui proyek eksplorasi sumber daya alam. Sehingga ketika para spekulan moneter melakukan trial and error di Asia Tenggara, Indonesia tidak berdaya untuk bertahan. Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia kemudian menawarkan resep ekonomi dari Chicago School yang lazim disebut dengan neoliberalisme, dan kemudian diimplementasikan dalam kebijakan pemerintahan yang kala itu memang dalam euforia yang mirip tahun 1966, yaitu rela untuk dijamah oleh tangan-tangan asing.
Pasca terjadinya krisis moneter yang melanda Asia Tenggara, Indonesia tidak berhasil bangkit, baik dalam tataran makro maupun mikro. Memang, ekonomi Indonesia masih sedikit bisa bertahan dengan menjamurnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang akhirnya menjadi landasan bertahannya ekonomi nasional.
Tetapi tidak semua kalangan masyarakat bergerak di bidang UMKM. Yang terjadi justru pengangguran yang akut, dan meningkatnya usaha “entrepreneur” seperti mengemis, mengamen, dan merampok. Semenjak reformasi bergulir dan naiknya pemerintahan baru yang jauh dari kesan otoriter, represif, dan militeristik, masyarakat Indonesia yang berjumlah lebih dari 200 juta masih didera dengan lemahnya daya beli, rendahnya tingkat pendidikan, sehingga mengembalikan Indonesia ke kotak negara berkembang.
Kejadian di Jawa Timur memberikan gambaran kasar, bagaimana sesungguhnya kondisi nyata yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Setelah disuguhkan pemberitaan tentang antrian minyak tanah bersubsidi, bantuan langsung tunai (BLT) yang carut marut, dan berbagai bencana yang melanda, berita dari Jawa Timur menambah panjang daftar tragisnya masyarakat Indonesia. Dalam kejadian tersebut, seorang pengusaha dermawan dari Jawa Timur sedang melakukan kegiatan rutin tahunannya yang dilaksanakan dalam rangka bulan puasa, yaitu memberikan sedekah bagi orang-orang tidak mampu.
Tanpa bantuan dari polisi, maupun aparat lain yang berkaitan dengan urusan ketertiban, kegiatan ini akhirnya berlangsung kacau karena masyarakat berebut untuk memperoleh sedekah sehingga dorong-dorongan pun tidak terelakkan. Lebih dari 20 nyawa yang melayang, dikarenakan kekurangan oksigen yang disinyalir karena keadaan berdesakkan, dan mungkin terinjak-injak.
Jikalau ada aparat dalam jumlah yang cukup banyak untuk membantu pelaksanaan ini, mungkin saja kejadian maut kemarin tidak berujung kematian. Tetapi sang pengusaha mungkin memiliki pertimbangan lain. Jika harus mengerahkan aparat berwajib dalam rangka menertibkan kegiatan yang dia rencanakan, maka biaya yang dikeluarkan tentunya harus lebih banyak. Fakta bahwa polisi tidak akan bergerak kecuali dibayar oleh uang tunai, bahkan dalam keadaan yang genting sekalipun, telah menjadi rahasia umum.
Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan pelaksanaan door-to-door sehingga dapat menghindari berhamburnya masyarakat dalam satu titik yang akan riskan menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan.
Apa yang sesungguhnya ingin dikuak bukanlah masalah metoda ataupun sikap koruptif dan oportunis yang ditunjukkan oleh Polisi sebagai aparat yang berwenang. Yang menjadi inti permasalahan adalah sebegitu frustasinya masyarakat dengan kondisi pada saat ini, sehingga uang sebesar tiga puluh ribu dikejar sampai harus dibayar dengan nyawa.
Jika dilihat dari kebutuhan sehari-hari saat ini, uang sejumlah tiga puluh ribu tidaklah berarti apa-apa, terutama jika digunakan oleh orang yang telah berkeluarga. Dengan estimasi makan yang paling murah sekitar lima ribu rupiah, dan sebuah keluarga kecil terdiri dari empat orang, maka uang sejumlah tiga puluh ribu rupiah hanya dapat digunakan untuk dua kali makan. Sementara di lapangan, sudah sangat sulit untuk menemukan makanan yang seharga lima ribu rupiah, dan keluarga dengan kondisi ekonomi menengah kebawah berkecenderungan untuk memiliki banyak anak. Sehingga dapat dikatakan bahwa uang tersebut jauh dari cukup.
Tetapi dengan kondisi sekarang yang sulit, naiknya semua harga karena efek domino kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dan minimnya lapangan kerja, pemberian uang secara cuma-cuma tentunya akan diburu oleh masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi, yang jumlahnya sangat banyak.
Apa yang terjadi di Jawa Timur telah menunjukkan kepada warga Indonesia, bahwa pernyataan pemerintah yang mengatakan tingkat kemiskinan mengalami penurunan adalah sebuah kebohongan publik. Statistik yang dihasilkan oleh BPS hanya digunakan untuk mempermainkan warga negara Indonesia dengan angka-angka “menyenangkan” yang sama sekali tidak akurat. Kejadian ini juga menguak betapa keroposnya kondisi ekonomi Indonesia di tataran akar rumput, dan sialnya kondisi ini dimanfaatkan oleh para aktor/pelaku politik yang sedang bertarung untuk memperebutkan kekuasaan di tahun 2009.
Masyarakat miskin hanya dijadikan komoditi kampanye politik dan diberikan janji-janji palsu, sehingga mereka terpikat dari akhirnya mengantarkan para oportunis politik ke panggung kekuasaan yang akan mereka nikmati selama lima tahun ke depan. Realita ini menjadi permasalahan yang berlarut-larut, dan nampaknya tidak ada keinginan dari para aktor yang memiliki kewenangan pengambilan kebijakan untuk menyelesaikan masalah ini.
Pembagian kue pembangunan yang tidak merata juga menjadi titik permasalahan terjadinya kondisi seperti di Jawa Timur. 70% uang Indonesia berada di Jakarta, dan sisanya dibagi ke 32 propinsi. 20% pelaku ekonomi menguasai 80% perekonomian Indonesia, dan mayoritasnya berada di Jakarta. Fakta yang tak bisa terhindarkan ini menjadi penyebab kesenjangan yang begitu lebar dalam masyarakat Indonesia. Pelaku ekonomi masih berorientasi pada Jakarta, dan pemerintah pun tidak berkeinginan untuk mengubah paradigma itu dengan lebih mengutamakan pembangunan di Jakarta. Kota-kota lain yang berusaha untuk membangun dirinya, ditinggalkan begitu saja oleh Pusat. Tetapi ketika daerah memperoleh keuntungan yang cukup besar, Pusat justru meminta bagiannya.
Kesenjangan tidak hanya terjadi dalam aspek ekonomi, tetapi juga melanda dunia pendidikan dengan hebatnya. Pendidikan yang merupakan silver bullet dalam mengatasi ketertinggalan, justru ditinggalkan dan tidak dijadikan prioritas bagi elit politik di Pusat sana. Mereka lebih mengutamakan deal-deal ekonomi yang semakin merugikan negara Indonesia, mengurus konflik politik berkepanjangan, dan perseteruan antara tokoh politik.
Anggaran pendidikan yang tak kunjung disesuaikan dengan konstitusi, tidak dijadikan masalah bagi anggota DPR. Tetapi ketika berurusan dengan laptop dan masalah negara lain, DPR dengan cepat bereaksi. Sikap koruptif yang ditunjukkan oleh birokrat-birokrat pemerintahan di bidang pendidikan, yang sama sekali tidak mengerti pendidikan, semakin memperparah kondisi pendidikan di Indonesia. Antara sekolah yang mahal sekali, dan sekolah yang mendalkan BOS sangat kentara perbedaannya dari sudut fasilitas dan kualitas pendidikan.
Sikap independen dan mandiri sayangnya juga tidak terbentuk dalam mental masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat menengah kebawah. Pemerintah terlalu sering untuk tidak ingin susah dengan pembinaan berkelanjutan atas masyarakat yang berada di garis kemiskinan. Alih-alih memberikan pancing, pemerintah justru memberikan ikan dengan program BLT yang sama sekali tidak mendidik, karena melatih masyarakat Indonesia untuk menunggu menadahkan tangan dan menerima belas kasihan dari orang lain.
Tetapi seringkali program pembinaan berkelanjutan yang direncanakan dari pemerintah pusat, justru tersendat karena aparatur di tingkat daerah kembali menunjukkan sikap koruptifnya dan akhirnya menjadikan program pembinaan berkelanjutan hanya sekedar formalitas dan seremoni belaka. Dimanjanya masyarakat akhirnya menunjukkan sisi negatif dalam kondisi kekinian yang semakin lama semakin terpuruk ke titik terendah.
Apakah kejadian di Jawa Timur tersebut mampu membuka mata hati dan mata kepala pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan elit-elit politik yang sering memanfaatkan mereka?
Kita semua hanya bisa berharap.
Comments
Post a Comment