Ribut-ribut soal siapa yang menjadi presiden, siapa yang mendampingi sang calon presiden, dan hal-hal lainnya telah mendominasi pemberitaan media massa belakangan ini. Misalnya, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Solo seminggu terakhir, media massa berusaha untuk mengorek keterangan dari figur-figur penting yang memiliki kepentingan dalam Rakernas itu, baik itu pejabat-pejabat teras PDIP, kandidat-kandidat wakil presiden (wapres), hingga Megawati sang Calon Presiden PDIP itu sendiri. Hingga tulisan ini saya publikasikan di internet, Rakernas PDIP belum mengumumkan siapa figur yang akan mendampingi Megawati dalam pertarungan Pilpres 2009. Meski demikian ada beberapa tokoh yang diindikasikan menjadi calon kuat pendamping Megawati untuk menantang kembali SBY memperebutkan Istana, beberapa diantaranya : Sultan Hamengkubuwono X (Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta); Sutiyoso (Mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta); Akbar Tandjung (Mantan Ketua DPR, Mantan Ketua Umum Partai Golongan Karya); Hidayat Nur Wahid (Ketua MPR, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera); dan Prabowo Subianto (Mantan Pangkostrad, calon presiden Konvensi Golkar 2004). Dua dari lima figur tersebut telah secara gamblang menyatakan dirinya maju sebagai calon presiden untuk 2004 (Sultan dan Sutiyoso), sedangkan sisanya masih melihat konsolidasi internal partai dan hasil dari Pemilu legislatif.
Bosan melihat figur-figur bertebaran dan mengobral janji di media massa? Mungkin saja iya. Masyarakat Indonesia telah disuguhkan lusinan figur yang menyatakan dirinya siap menjadi Presiden Indonesia untuk periode 2009-2014, entah itu melalui deklarasi, ataupun hadir dalam acara televisi yang memang diformat untuk menghadirkan calon-calon yang demikian. Entah sudah berapa banyak orang yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden, lalu kemudian tenggelam begitu saja. Misalnya saja, Ratna Sarumpaet, Slamet Subiyanto, Fadjroel Rachman, Rizal Mallarangeng, dll. Yang hingga kini masih menonjol dalam bursa masih Megawati dan SBY karena keduanya didukung oleh mesin partai yang cukup kuat. Tapi apakah hal itu merepresentasikan keinginan masyarakat? Belum tentu.
Kebijakan SBY menurunkan harga BBM ternyata tidak serta merta membuatnya lebih populer dibandingkan pasca Pemilu 2004, karena ternyata penurunan harga BBM tidak membuat harga-harga barang dan jasa ikut turun. Padahal ketika harga BBM dinaikkan, semua harga langsung naik tanpa harus dikomando. Hal ini pula yang menimbulkan kritik dari Megawati di Rakernas PDIP yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia dibuat seperti mainan YOYO, naik-turun, naik-turun. Kritik ini kurang lebih mirip ketika Megawati mengatakan pemerintahan sekarang seperti tari POCO-POCO yang statis di situ-situ saja. Tapi apakah kritik Megawati menjadikannya sebagai potensi paling besar untuk menggantikan SBY? Tidak. Karena hal itu tidak mencerminkan bahwa kebijakan Megawati pro-rakyat. Jika saja Megawati tidak pernah memimpin, mungkin pernyataannya itu akan mendulang dukungan yang besar. Tapi selama masa kepemimpinannya, hampir tidak ada kebijakan progresif-populis bagi masyarakat banyak. Bahkan Megawati tidak pernah menurunkan harga BBM (yang pada tahun 2001 hingga 2004, harga minyak dunia memang tidak se-anjlok sekarang).
Kemudian figur-figur lain masih keukeuh untuk mempertahankan deklarasinya sebagai calon presiden, dan menganggap dirinya terlalu tinggi untuk wakil presiden. Menjadi presiden seolah-olah begitu mudah saat ini, siapkan tim untuk mengorganisasi acara deklarasi, tentukan jadual, undang wartawan, siapkan pidato dan juru bicara, kunjungi korban bencana alam, sowan ke tokoh-tokoh terkenal, dan anda akan siap dimasukkan dalam daftar calon presiden.
Yang disayangkan, mereka yang menjadi capres terlihat hanya sekedar ikut-ikutan saja. Hampir tidak ada perbedaan visi-misi, dan platform politik yang berbeda secara fundamental antara yang satu dengan yang lain. Bursa calon presiden hanya menjadi konsumsi segelintir elit yang bisa mengakses media secara lebih luas. Belum ada capres kita yang sekaliber Obama dalam menggalang kampanyenya, yang telah begitu banyak menggugah warga Amerika Serikat.
Jadi kalau kampanye presiden sudah tiba waktunya, dan ternyata mereka masih seperti sekarang, jangan harap 2009-2014 akan lebih baik dibandingkan sekarang.
Bosan melihat figur-figur bertebaran dan mengobral janji di media massa? Mungkin saja iya. Masyarakat Indonesia telah disuguhkan lusinan figur yang menyatakan dirinya siap menjadi Presiden Indonesia untuk periode 2009-2014, entah itu melalui deklarasi, ataupun hadir dalam acara televisi yang memang diformat untuk menghadirkan calon-calon yang demikian. Entah sudah berapa banyak orang yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden, lalu kemudian tenggelam begitu saja. Misalnya saja, Ratna Sarumpaet, Slamet Subiyanto, Fadjroel Rachman, Rizal Mallarangeng, dll. Yang hingga kini masih menonjol dalam bursa masih Megawati dan SBY karena keduanya didukung oleh mesin partai yang cukup kuat. Tapi apakah hal itu merepresentasikan keinginan masyarakat? Belum tentu.
Kebijakan SBY menurunkan harga BBM ternyata tidak serta merta membuatnya lebih populer dibandingkan pasca Pemilu 2004, karena ternyata penurunan harga BBM tidak membuat harga-harga barang dan jasa ikut turun. Padahal ketika harga BBM dinaikkan, semua harga langsung naik tanpa harus dikomando. Hal ini pula yang menimbulkan kritik dari Megawati di Rakernas PDIP yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia dibuat seperti mainan YOYO, naik-turun, naik-turun. Kritik ini kurang lebih mirip ketika Megawati mengatakan pemerintahan sekarang seperti tari POCO-POCO yang statis di situ-situ saja. Tapi apakah kritik Megawati menjadikannya sebagai potensi paling besar untuk menggantikan SBY? Tidak. Karena hal itu tidak mencerminkan bahwa kebijakan Megawati pro-rakyat. Jika saja Megawati tidak pernah memimpin, mungkin pernyataannya itu akan mendulang dukungan yang besar. Tapi selama masa kepemimpinannya, hampir tidak ada kebijakan progresif-populis bagi masyarakat banyak. Bahkan Megawati tidak pernah menurunkan harga BBM (yang pada tahun 2001 hingga 2004, harga minyak dunia memang tidak se-anjlok sekarang).
Kemudian figur-figur lain masih keukeuh untuk mempertahankan deklarasinya sebagai calon presiden, dan menganggap dirinya terlalu tinggi untuk wakil presiden. Menjadi presiden seolah-olah begitu mudah saat ini, siapkan tim untuk mengorganisasi acara deklarasi, tentukan jadual, undang wartawan, siapkan pidato dan juru bicara, kunjungi korban bencana alam, sowan ke tokoh-tokoh terkenal, dan anda akan siap dimasukkan dalam daftar calon presiden.
Yang disayangkan, mereka yang menjadi capres terlihat hanya sekedar ikut-ikutan saja. Hampir tidak ada perbedaan visi-misi, dan platform politik yang berbeda secara fundamental antara yang satu dengan yang lain. Bursa calon presiden hanya menjadi konsumsi segelintir elit yang bisa mengakses media secara lebih luas. Belum ada capres kita yang sekaliber Obama dalam menggalang kampanyenya, yang telah begitu banyak menggugah warga Amerika Serikat.
Jadi kalau kampanye presiden sudah tiba waktunya, dan ternyata mereka masih seperti sekarang, jangan harap 2009-2014 akan lebih baik dibandingkan sekarang.
Comments
Post a Comment