Tak banyak film yang mampu merealisasikan fantasi yang telah dibuat sedemikian rupa oleh buku. Selain karena cara pandang yang berbeda, durasi waktu pun menjadi sumber masalah. Durasi rata-rata film memakan waktu sekitar 1,5 hingga 2,5 jam, meski ada beberapa film yang menjadi anomali yang berdurasi 3 jam hingga lebih. Hal ini pula yang terjadi dalam film-film yang diangkat dari novel bergenre legal thriller karya John Grisham, dan salah satunya adalah A Time To Kill.
Tak seperti film Runaway Jury yang melenceng jauh dari penuturan tertulis John Grisham, A Time To Kill mengangkat plot yang serupa dengan novelnya, yaitu balas dendam seorang ayah karena anak perempuannya diperkosa. Masalah ini mungkin menjadi isu kriminal biasa apabila tidak melibatkan warna kulit. Sang Ayah Carl Lee Hailey (diperankan oleh Samuel L. Jackson) dan keluarganya (termasuk anak yang diperkosa) adalah keluarga kulit hitam, sedangkan si tersangka pelaku pemerkosaan adalah kulit putih.
Ketika si tersangka sedang dibawa ke pengadilan untuk diproses secara hukum, sang ayah langsung membombardir mereka dengan timah panas yang berujung pada kematian dua tersangka, dan terlukanya salah seorang polisi. Kasus yang diajukan ke pengadilan pun bukan lagi kasus pemerkosaan, melainkan kasus pembunuhan.
Dengan setting di tahun 1970an, segregasi warna kulit memang menjadi isu sensitif di Amerika Serikat (AS), karena gerakan yang dibangun oleh Martin Luther King belumlah menyeleruh ke seluruh daratan AS. Apalagi jika ada pembunuhan yang dilakukan oleh orang kulit hitam terhadap kulit putih.
Segregasi warna kulit pun akhirnya berpengaruh ke dalam sistem hukum dalam masyarakat. Sistem Anglo-Saxon yang dianut oleh AS, menjadikan juri sebagai pihak yang berperan sentral dalam menentukan vonis guilty atau not guilty. Karena ada perbenturan warna kulit dalam kasus ini, maka pemilihan juri pun menjadi sulit karena memperhitungkan proporsi antara kulit hitam dan kulit putih.
Tak hanya benturan di juri, kalangan masyarakat pun mulai terprovokasi akibat kasus ini, sehingga segregasi berlangsung semakin parah, bahkan dibumbui dengan kehadiran Ku Klux Klan (organisasi fundamentalis kulit putih).
Meski garis besar dalam novel telah diangkat dalam film ini, namun saya merasa kadar ketegangan dalam film justru semakin berkurang. Misalnya, proses pengajuan perkara ke pengadilan yang di versi novel digambarkan dengan begitu deskriptif, akhirnya dipotong.
Padahal proses pengajuan itu, mulai dari polisi, hearing, Grand Jury, hingga akhirnya di pengadilan, memberikan sebuah gambaran mengenai bagaimana criminal justice system di AS bekerja. Tentunya ditambah dengan proses pemilihan juri yang dalam versi novel benar-benar menggambarkan perang kepentingan antara district attorney dengan defendant.
Belum lagi berbagai dampak psikologis yang dialami oleh keluarga Jake Brigance dan pemanfaatan secara politis untuk meraih keuntungan yang dilakukan oleh NAACP beserta pendeta di gereja Carl Lee. Versi film hanya mengangkat sekeping dari sekian banyak ketegangan dari versi novel, sehingga menurut saya menghancurkan imajinasi saya dari versi novel.
Meski demikian, film ini tetap memberikan sebuah pesan yang penting, yaitu makna keadilan, serta pentingnya demokrasi dan HAM. Keadilan bukan hanya merupakan pasal-pasal dalam undang-undang saja, karena keadilan merupakan sebuah representasi dari penilaian masyarakat atas mana yang layak dan mana yang tidak.
Seringkali kita terlampau kaku dan positivistik dalam memandang sebuah permasalahan, sehingga solusi yang sebenarnya dapat kita raih hanya mampu kita lihat dari jeruji undang-undang yang mengekang kebebasan berpikir kita. Balas dendam yang dilakukan oleh Carl Lee Hailey menjadi sebuah rasa frustasi masyarakat yang tidak lagi percaya pada lembaga peradilan. Lembaga peradilan seharusnya menjadi institusi yang obyektif, imparsial, dan mengedepankan rasa keadilan, bukannya hanya menjadi corong undang-undang belaka.
Tentunya keadilan akan berkaitan erat dengan demokrasi dan HAM. Tanpa adanya demokrasi dan HAM, masyarakat akan terus mengalami segregasi, baik itu karena alasan warna kulit, kelas sosial, dan alasan-alasan SARA lainnya. Gesekan-gesekan akan semakin mudah terjadi, dan justru menjebak masyarakat dalam sebuah kubangan ketertinggalan. Demokrasi dan HAM tidak bisa diperoleh secara instan.
Film ini juga menggambarkan proses awal dari sebuah negara adidaya (AS) dalam meraih substansi demokrasi dan HAM di negara sendiri. Mereka telah mengalami jalan berkerikil untuk menegakkan demokrasi dan HAM, bahkan tak dipungkiri bahwa mereka memiliki sejarah kelam dalam kaitannya dengan demokrasi dan HAM.
Keadilan, demokrasi, dan HAM mungkin masih sekedar lip service dalam konteks ke-Indonesia-an, tetapi janganlah hal itu menjadi penghambat kita untuk terus menegakkannua. Fiat Justitia.
Comments
Post a Comment