Sajian musik klasik dalam format trio ataupun kuartet gitar belum menjadi sebuah suguhan yang lazim di Kota Kembang Bandung. Meski telah melahirkan sejumlah gitaris papan atas tingkat nasional (bahkan internasional), gitaris-gitaris Bandung belum terlalu sering berkolaborasi satu sama lain, dan lebih banyak mengaktualisasikan dirinya dalam format solo.
Kalaupun mereka berkolaborasi, sajian yang ditampilkan hanya dinikmati oleh kalangan terbatas saja, entah itu berbasis kursus musik ataupun pendidikan formal musik. Di tengah ketiadaan sajian musik klasik dalam format ansambel, Resital Tiga Gitar Plus Satu menjadi sebuah sajian yang sangat sayang untuk dilewatkan.
Resital Tiga Gitar Plus Satu ini sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena di tahun 2008, suguhan serupa juga pernah ditampilkan. Hanya saja, pada saat itu belum ada penambahan “Plus Satu” di belakang “Resital Tiga Gitar”.
Gitaris yang berkolaborasi dalam Resital Tiga Gitar Plus Satu adalah Widjojo Martokusumo, Syarif Maulana, Bilawa Respati, dan Royke Ng. Gitaris yang disebut terakhir merupakan gitaris yang baru bergabung dengan Resital Tiga Gitar, yang akhirnya memunculkan “Plus Satu” dalam nama kelompok ini.
Keempat gitaris diatas, merupakan gitaris-gitaris top Indonesia yang telah mencatatkan prestasi di berbagai kompetisi gitar klasik tingkat lokal dan nasional. Dengan kemampuan mereka bereempat yang diatas rata-rata, maka tak heran repertoar yang dimainkan pun cukup sulit.
Ketika babak pertama dimulai, saya agak tidak berkonsentrasi untuk mendengarkan karya yang dimainkan, karena ada tanggung jawab yang harus saya jalani sebagai salah satu panitia acara ini. Satu-satunya repertoar yang bisa saya simak dengan seksama adalah Eine Kleine Nachtmusik karya dari W.A.Mozart, yang melodi-nya sudah sangat terkenal, bahkan bagi kalangan yang awam akan musik klasik.
Meski melodinya sangat terkenal, tapi kebanyakan orang tidak tahu judul dari komposisi ini. Mayoritas orang pasti akan bertanya “yang mana ya?” ketika disebutkan Eine Kleine Nachtmusik, tetapi akan segera membalas dengan “oooh…yang ini…” ketika mendengarkan melodi pertamanya.
Dari performa yang ditampilkan oleh Resital Tiga Gitar di babak pertama ini, sangat terasa bahwa ketegangan adalah sebuah hal yang wajar dialami oleh semua individu yang harus tampil diatas panggung, meskipun dirinya telah memiliki jam terbang yang begitu banyak. Apalagi dengan adanya ekspektasi yang cukup besar terhadap Resital Tiga Gitar setelah sukses menyelenggarakan acara serupa setahun yang lalu.
Yang cukup menarik perhatian dalam resital ini adalah cukup banyaknya interaksi antara para gitaris dengan penonton, terutama ketika salah satu gitaris, Syarif Maulana, yang seringkali melontarkan candaan-candaan sehingga mampu mencairkan suasana tegang yang memang otomatis terkonstruksi dalam setiap acara musik klasik.
Babak kedua resital ini menampilkan format kuartet, yaitu tiga gitaris pada babak pertama ditambah dengan Royke Ng. Repertoar pertama pada babak ini adalah Canon in D, karya dari Johann Pachelbel, yang melodinya cukup familiar bagi para penonton, karena sering mendengarnya entah dari nada dering telepon selular maupun bel rumah.
Harmonisasi yang dibangun oleh keempat gitaris sangat baik, sehingga sahut-sahutan yang menjadi ciri dari musik-musik kanon sangat terasa. Setelah Canon in D, komposisi yang dimainkan berikutnya berjudul Pela Yangan, karya dari Fauzie Wiriadisastra, seorang multi-instrumentalis asal Bandung. Karya ini baru pertama kali dimainkan, dan menjadi premiere bagi para penikmat musik di Bandung.
Berbeda dengan komposisi sebelumnya (Canon in D) yang dapat dibilang sangat “klasik” dan “konvensional”, karya Fauzie ini sangat dipengaruhi nuansa kontemporer, terutama dengan nada-nada dan kord-kord “miring” serta penggunaan beberapa bagian gitar yang dapat menghasilkan nada yang berbeda.
Tak hanya nada dan kord, tuning gitar yang digunakan pun cukup aneh dan jarang ditemukan di karya-karya komposer lain. Contohnya, salah satu gitaris menggunakan susunan tuning : 1=C; 2=B 3/4 mol; 3=G; 4=B; 5=A ¾ mol; 6=E. Dengan tuning yang sedemikian rupa, karya ini menghasilkan nada-nada yang cukup “memeras” telinga karena interval antar senar yang tak lazim.
Meski demikian, karya ini sanggup dimainkan dengan sangat baik dan mencapai klimaks-nya di penghujung komposisi. Sambutan penonton pun terdengar lebih meriah dibandingkan dengan sambutan-sambutan sebelumnya.
Dua komposisi selanjutnya kembali menunjukkan skill para gitaris yang diatas rata-rata. Mereka memainkan Concerto in D Major karya Georg Philipp Telemann, dan Brandenburg Concerto No. 3 karya Johann Sebastian Bach. Kedua karya itu, khususnya komposisi dari Bach, tergolong repertoar yang cukup sulit, karena tidak hanya menekankan pada ketepatan nada dalam bermain, namun juga kerjasama yang baik antara para gitaris agar menghasilkan nada-nada yang sempurna dan tidak terkesan berkejar-kejaran.
Sesudah kedua repertoar diatas, komposisi selanjutnya yang menjadi suguhan pamungkas dari acara resital ini adalah karya dari Bilawa Respati, berjudul Malam Yang Bersembunyi. Sama seperti Pela Yangan, suguhan Malam Yang Bersembunyi pun menjadi premiere bagi publik Bandung.
Berdasarkan pengakuan sang komposer di atas panggung, komposisi ini merupakan interpretasi atas sebuah karya sastra dari seorang penulis bernama Raden Prisya. Meskipun komposer dari karya ini merupakan murid dari Fauzie, penggubah Pela Yangan, namun hampir tidak ada kemiripan antara Malam Yang Bersembunyi dengan Pela Yangan.
Ketika Pela Yangan penuh dengan nuansa “miring” khas kontemporer, Malam Yang Bersembunyi justru masih sangat dekat dengan musik klasik yang lazim didengar oleh publik dan mematuhi koridor-koridor yang sudah lazim digunakan dalam musik klasik. Karena digubah oleh salah satu dari keempat gitaris, komposisi ini memang layak menjadi karya pamungkas penutup acara.
Meski Malam Yang Bersembunyi menjadi karya terakhir yang dimainkan berdasarkan program acara, namun masih ada satu komposisi tambahan yang dipakai untuk encore. Karya yang digunakan untuk encore adalah Lagrima dari Francesco Tarrega.
Agaknya persiapan para gitaris untuk karya encore ini sangatlah kurang, karena meskipun tergolong lebih mudah jika dibandingkan dengan karya-karya dalam babak pertama dan kedua, kesalahan yang muncul pada encore ini jauh lebih banyak dan dapat didengar dengan mudah.
Berdasarkan pengakuan para personel Resital Tiga Gitar, karya untuk encore ini baru didapatkan pada Hari H penyelenggaraan resital, bahkan hanya beberapa jam sebelum acara dimulai.
Suguhan Resital Tiga Gitar Plus Satu menjadi sebuah bukti bahwa instrumen gitar klasik tak hanya sekedar dimainkan dalam format solo, namun juga dapat dimainkan dengan format trio atau kuartet, dan memiliki keindahan yang sama seperti instrumen lainnya yang lazim dimainkan dalam format ansambel.
Acara ini juga menegaskan bahwa skill seorang pemain gitar tak hanya dilihat dari kemampuan bermain solo, tetapi juga dapat dilihat bagaimana seorang gitaris bisa menekan ego-nya untuk berbaur dengan gitaris lain dan memainkan sebuah karya ansambel dengan kerjasama yang apik.
Selain itu, suguhan ini pun menjadi sebuah tontonan yang sangat menarik di tengah-tengah himpitan musik popular yang terlalu tergantung pada selera pasar, dan lebih menginginkan keseragaman dibandingkan keberagaman dalam bermusik.
Agaknya sajian Resital Tiga Gitar--entah itu Plus Satu, ataupun akan menjadi Plus Dua, Tiga, dan seterusnya--harus menjadi sebuah acara rutin agar semakin memasyarakatkan musik klasik pada umumnya dan gitar pada khususnya.
(…artikel ini telah dimuat di blog tobucil, dengan kontribusi tambahan dari Syarif Maulana; http://tobucil.blogspot.com/2009/08/menonton-ekspresi-syarif-maulana-di.html)
Comments
Post a Comment