Selepas mengantarkan kakak saya dari panggilan tugasnya di rumah sakit, saya dan kakak saya mengambil sedikit waktu untuk menikmati camilan di kawasan Cibeunying, Bandung. Kebetulan letaknya dekat dengan bilangan Jl. Supratman, sehingga saya teringat pada spanduk dan baliho yang mempromosikan sebuah toko buku baru yang memakai nama "Rumah Buku"
Di tengah dahaga akan toko buku mini market--meminjam istilah rekan saya, Wiku Pedia, seorang distributor, konsultan, dan penerbit buku--saya berharap lebih atas "Rumah Buku", entah itu dari suasana yang ditawarkan, koleksi buku-bukunya, ataupun diskon harga.
Namun ekspektasi saya nampaknya terlalu berlebihan. Ketika saya akhirnya rela berputar jalan demi mengunjungi "Rumah Buku", semua harapan akan toko buku idaman pun hilang seketika. Rumah Buku hampir tidak ada bedanya dengan toko-toko buku mainstream yang telah terlebih dahulu merajai bisnis perbukuan di Indonesia.
Saya bisa menilainya dari bagian lobby atau pintu masuk "Rumah Buku", karena etalase dan kasir-nya memiliki kemiripan yang tak terelakkan dengan toko buku besar di Indonesia. Penataan buku pada rak-raknya pun tak jauh berbeda. Sehingga saya hanya mendapatkan kesan bahwa "Rumah Buku" adalah Gramedia berukuran kecil. Yang sedikit membedakannya hanyalah pemberian diskon, karena toko buku mainstream lainnya, jarang memberikan diskon kecuali sedang sale atau promosi tertentu.
Pada intinya, saya tidak mendapatkan kesan "rumah" dari "Rumah Buku". Dalam pemikiran saya, "rumah" adalah sebuah tempat dimana kita bisa menjadi bagian di dalamnya. Tentunya hal ini disemarakkan dengan kondisi yang bersahabat dan mengajak penghuninya untuk pulang. Karena itu, "rumah" tak harus selalu identik dengan bangunan atau desain yang keren. Karena yang terpenting adalah suasana yang dibawakan oleh rumah itu bagi penghuninya.
Kecewa? tentu saja. Saya sudah cukup bosan dengan Gramedia yang menguasai bisnis perbukuan semenjak saya mengenal dunia literasi (bahkan pasti sudah lebih lama dari itu). Gramedia bukanlah sebuah hal yang buruk, tetapi alangkah lebih baiknya ketika dia tidak menjadi satu-satunya acuan baku dalam berkecimpung di bisnis perbukuan.
Sedikit harapan memang sempat muncul ketika di awal 2000an. Bandung sedang mengalami booming toko-toko buku mini market, yang kala itu lebih dikenal dengan toko buku independen. Menurut Wiku Pedia, ada sekitar 30 lebih toko buku mini market yang sempat mewarnai dunia perbukuan Bandung.
Namun entah mengapa, booming tersebut hanya sekedar musiman saja. Sehingga Gramedia seakan tetap kokoh menjadi penguasa dunia perbukuan di Bandung. Sementara, "Rumah Buku" tak bisa menawarkan sebuah perbedaan yang membuat orang akan bisa berpaling dari Gramedia untuk sejenak. Suasananya sama tetapi koleksi buku lebih sedikit. Diskon pun tak banyak berpengaruh kalau buku yang dicari tidak ada.
Jadi bagi anda-anda penikmat buku, "Rumah Buku" tidak terlalu saya sarankan untuk dikunjungi, kecuali buku yang anda cari sudah tidak ada di Gramedia, Gunung Agung, Toga Mas, dan Palasari (tapi belum ada jaminan juga untuk bisa ditemukan juga).
Rumah adalah dia harus menjadi tempat galau yang nyaman
ReplyDeletekalau tempatnya nyaman, dia tak tepat lagi menjadi wadah penggalauan.
ReplyDelete