Mas Marco Kartodikromo: Karena Kata Adalah Senjata
Oleh Tri Darma Yudha
Pirhot Nababan[1]
Mas Marco Kartodikromo |
Namun, berbeda dengan pers saat
ini yang dituntut tidak berpihak, kuli tinta alias praktisi media di zaman
pra-kemerdekaan justru memanfaatkan kekuatan pers untuk melawan kolonialisme
Belanda. Pers justru secara gamblang memosisikan dirinya menjadi pembela kaum
pribumi dari penindasan para londo. Keberpihakan
ini dinyatakan secara tegas oleh Mas Marco Kartodikromo, salah satu pionir
dalam dunia pers Indonesia.
Mas Marco Kartodikromo lahir
tahun 1890 di Cepu. Ia berasal dari keluarga dengan strata sosial rendahan. Nasib
membawanya bekerja di Nederlandsch-Indische
Spoorweg (NIS – Dinas Kehutanan) Semarang pada tahun 1905, tempat yang ia manfaatkan untuk belajar bahasa Belanda.
Meski NIS adalah perusahaan kolonial, rasa nasionalisme Mas Marco justru
semakin berkobar setelah enam tahun bekerja di sana.[2]
Rasa nasionalisme serta kemampuan
berbahasa Belanda, mungkin menjadi faktor yang membawanya hijrah dari Semarang
ke Bandung di tahun 1911. Penolakannya terhadap diskriminasi dalam dunia kerja,
khususnya perbedaan antara londo dan inlander, membuatnya meninggalkan
“karir” sebagia juru tulis, dan banting setir menjadi seorang jurnalis. Karir
jurnalistik Mas Marco dimulai di Bandung, ketika ia bergabung dengan “Medan
Prijaji” pimpinan Tirto Adhi Soeryo.[3]
“Medan Prijaji” adalah pers
pertama yang dikelola, dimodali, dan dimiliki oleh bumiputera sendiri;[4]
sekaligus menjadi surat kabar yang terbilang sukses di masanya. Tirto Adhi
Soerjo, Bapak Pers Nasional, menggunakan “Medan Prijaji” sebagai alat
propaganda untuk melawan pemerintah kolonial.
Sayangnya, Tirto, yang
menggunakan inisial “TAS” dalam karya jurnalistiknya, ditangkap oleh Belanda
dan dibuang ke Maluku. Belanda menggunakan haatzai
artikelen akibat kecaman-kecaman yang diutarakan oleh Tirto. Penangkapan
Tirto sedikit banyak berpengaruh pada Mas Marco yang pada saat itu sedang dalam
proses meniti karir jurnalistiknya.
Akibat penangkapan Tirto dan
pembreidelan “Medan Prijaji”, Mas Marco meneruskan petualangan hijrahnya
memperjuangkan nasionalisme ke Solo. Di kota batik itu, ia bergabung dengan
Saratomo, surat kabar milik Sarekat Islam. Di kota ini pula, Mas Marco
mendirikan Indlandsche Journalistenbond
yang memiliki publikasi dengan titel “Doenia Bergerak”, salah satu pionir
asosiasi jurnalis di Nusantara.[5]
Perjuangan Mas Marco melawan
pemerintah kolonial harus dibayar dengan seringnya ia berurusan dengan delik
pers.[6] Vonis
enam bulan penjara menjadi “hadiah” bagi Marco atas seruannya “Kita semua
adalah manusia”, yang dimuat di “Doenia Bergerak”. Bahkan saat proses hukum
sedang berlangsung, ia masih lantang berseru, “Saya berani bilang, selama
kalian, rakyat Hindia, tidak punya keberanian, kalian akan terus diinjak-injak
dan hanya menjadi seperempat manusia!”[7]
Perjuangan Mas Marco tidak
dibatasi oleh dunia jurnalisme yang mengutamakan fakta dan opini, ia juga
memiliki ketajaman dalam menyorot realita sosial di Hindia Belanda melalui
karya-karya sastranya. Mas Marco menelurkan karya seperti Mata Gelap (1914),
Student Hidjo (1918), Matahariah (1919), dan Rasa Merdika (1924), Ditambah lagi
kumpulan sajak Sjair Rempah-rempah (1918), Cermin Buah Keroyalan (1924), dan
sebuah naskah drama Kromo Bergerak (1924).[8]
Beberapa karya sastranya menyiratkan sikap dan pandangan hidupnya yang
sosialis-Marxis.
Ada tiga hal yang menjadi catatan
atas karya-karya Mas Marco. Pertama, ia menyuarakan aspirasi yang pada masa itu
dibungkam oleh pemerintah kolonial. Kedua, Marco menggunakan bahasa yang
gamblang dan cukup keras. Ketiga, karya Marco menyampaikan kesadaran berbangsa
untuk pribumi di Nusantara yang sekaligus mengecam keberadaan kolonialisme di
Hindia-Belanda.[9]
Menggunakan kekuatan media untuk
melawan kesewenang-wenangan, mungkin terdengar biasa pada masa kini. Twitter,
Facebook, koran, media online, sudah jamak dipakai sebagai alat perjuangan.
Perlu diingat juga, Arab Spring yang terjadi di Mesir, Aljazair, Libya, dan
negara-negara disekitarnya, mendapatkan kekuatan lebih karena adanya media.
Tetapi di zaman pra-kemerdekaan
yang dilalui oleh Mas Marco, penggunaan media sebagai alat perlawanan dapat
dikatakan luar biasa. Saat itu, penduduk Nusantara masih sebatas memikirkan
kepentingan perut ketimbang kemerdekaan. Namun Mas Marco mampu melampaui
pemikiran di zamannya dengan berjuang melawan kolonialisme.
Saat warga pribumi sekedar
melawan dengan menggunakan otot, Mas Marco melawan dengan intelektualitas dan
penggunaan kata-kata. Bahkan, ia masih sempat menggunakan imajinasinya untuk
menyorot realita sosial melalui novel-novelnya. Padahal, Mas Marco tidak
berasal dari keluarga ningrat yang mengenyam pendidikan dan budaya baca-tulis
ala londo. Ia menyadari pendidikannya
yang pas-pasan, sehingga ia berusaha keras untuk bisa memiliki kemampuan yang
sama seperti orang “sekolahan”.
Peran Mas Marco dalam perjuangan
melawan kolonialisme patut diacungi jempol, meski dirinya acapkali dilupakan
dalam pembahasan sejarah pra-kemerdekaan. Dari perjuangan Mas Marco pula, kita
menyadari bahwa perlawanan melawan penindasan tak cukup dilakukan hanya dengan
otot saja. Opini publik serta media yang dipakai Mas Marco menegaskan bahwa
“Kata Adalah Senjata”.
Tabik!
[1]
Peserta Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa Angkatan II, Alumnus FH Unpad,
mahasiswa magister FHUI, jurnalis hukumonline.com
[2]
Suara Merdeka, “Marco Kartodikromo: Jurnalis Yang Terlupakan”, http://www.suaramerdeka.com/harian/0802/10/nas11.htm,
akses pada 10 Maret 2012, 10.30 WIB.
[3]
Indo-Marxist, “Mas Marco Kartodikromo: Dengan Sastra, Ia Mengasah Pena”, http://indomarxist.tripod.com/masmarco.htm,
akses pada 10 Maret 2012, 10.50 WIB
[4]
Andi Suwirta, “Zaman Pergerakan, Pers, dan Nasionalisme di Indonesia”, dalam
Andi Suwirta dan Abdul Razaq Ahmad, Sejarah
dan Pendidikan Sejarah: Perspektif Malaysia dan Indonesia, UPI Press,
Bandung, 2006, hlm. 84.
[5]
Supra n.2
[6]
Abdurrachman Surjomihardjo, Beberapa Segi
Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta, Penerbit Kompas, 2002,
hlm. 195.
[7]
Supra n.3
[8]
Jakarta.go.id, “Mas Marco Kartodikromo”, http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/1855/Mas-Marco-Kartodikromo,
akses pada 10 Maret 2012, 00.19 WIB
[9]
Harjito dan Faruk, “Feodalisme dalam Student Hijo Karya Marco Kartodikromo”,
Jurnal Sosiohumanika, Program Studi Sastra Pascasarjana UGM, September 2012,
hlm. 531-532.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdurrachman Surjomihardjo, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta, Penerbit Kompas, 2002.
Andi Suwirta dan Abdul Razaq Ahmad, Sejarah dan Pendidikan Sejarah: Perspektif Malaysia dan Indonesia, UPI Press, Bandung, 2006.
Karya Ilmiah
Harjito dan Faruk, “Feodalisme dalam Student Hijo Karya Marco Kartodikromo”, Jurnal Sosiohumanika, Program Studi Sastra Pascasarjana UGM, September 2012.
Internet
Saya sangat setuju dengan konsep "words are weapons". Sebenarnya pemahaman ini telah diamini semenjak zaman-zaman kuno, contoh sederhana jikalau kita bermain game on-line seperti dota ataupun rpg, disitu ada job-job buffer atau suport dalam dota, umumnya terdapat tiga jenis yaitu buffer atau supportive, penyerang atau agility, dan tahan badan atau strength. Job-job karakter supportive selalu dibutuhkan dalam war-war terutama terasa dalam game-game rpg seperti cabal, world of warcraft, lineage dll. Saya kagum dengan para creator game yang sebenarnya membuat sesuatu yang tidak benar-benar maya, karena sekalipun game-game berangkat dari mitos-mitos, sejarah, fantasi namun mereka tetap berangkat pada kenyataan. bahwa demikian karakter-karakter buffer atau suportive itu berangkat dari kenyataan-kenyataan figur-figur pendeta, priest, dukun-dukun pada zaman kuno,dan pemimpin-peminpin yang berpidato atau bermantra dengan mengobarkan semangat pada zaman modern yah seperti bung tomo pada peristiwa 10 november dengan buff-buff-nya di radio.
ReplyDelete