R.A. Kartini: Ketika Surat Menjadi Alat Perjuangan
Oleh Tri Darma Yudha Pirhot
Raden
Adjeng Kartini adalah seorang wanita dari kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas
Adipati Arya Sasraningrat, bupati Jepara. Ayahnya dikenal sebagai salah seorang
bupati Jawa yang paling maju.[1]
Karena faktor ini, Kartini diperbolehkan untuk Kartini diperbolehkan bersekolah
di ELS (Europese Lagere School), hingga umur 12 tahun. Di sini antara lain
Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di
rumah, karena adat pada waktu itu melarang seorang wanita untuk “melihat” dunia
luar kecuali ia telah memiliki suami.[2]
Kemampuannya
berbahasa Belanda, membuat Kartini belajar secara otodidak di rumah, dan mulai menulis
surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Ia sangat
tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa, yang didapatnya dari buku-buku,
koran, dan majalah Eropa. Kartini berkeinginan untuk memajukan perempuan
Nusantara, yang saat itu masih berada mengalami diskriminasi.
Kartini
menuliskan pemikiran-pemikirannya tentang realita sosial saat itu, khususnnya
tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan
dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai
penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut
ilmu dan belajar.
Surat-surat
Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada
perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap
keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa.[3]
Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak
bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki
yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Untungnya,
pemikiran-pemikiran Kartini mendapat tanggapan dari R.M. Abendanon, salah
seorang sahabat pena Kartini. Abendanon menerbitkan surat-surat Karini pada
tahun 1911 dengan judul Door Duisternis
tot Licht.[4]
Surat-surat
Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika
bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski ayahnya tergolong
berpikiran maju untuk saat itu, cita-cita Kartini untuk menjadi perempuan yang
lebih maju pada jamannya masih terbentur dengan adat istiadat yang begitu
kental.
Keinginan
Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam
surat-suratnya.[5]
Ia menegaskannya, “Pergi ke Eropa! Sampai napas penghabisan hal itu akan tetap
menjadi cita-cita saya.”[6]
Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini
tersebut.
Ketika
akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap
adanya kekecewaan dari sahabat-sahabatnya. Niat dan rencana untuk belajar ke
Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya
Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Nasib
berkata lain. Pada umur 25 tahun—sebuah usia yang relatif masih muda—Kartini
harus menjumpai ajalnya setelah ia melahirkan anak pertama.[7]
Cita-cita Kartini untuk bisa pergi ke Eropa, menikmati pendidikan seperti
sahabat-sahabatnya, dan akhirnya kembali untuk memperjuangkan nasib wanita di
Indonesia hanya bisa sebatas wacana dalam suratnya. Namun upayanya memperjuangkan nasib wanita di
Indonesia tetap abadi hingga saat ini. Pemerintah pun telah mengabadikannya
sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1964.
[1] M.C. Ricklefs, Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta, Serambi, 2008, hlm. 340
[2] R.A. Kartini, Habis
Gelap Terbitlah Terang Door Duisternis Tot Licht, Yogyakarta, Penerbit
Narasi, 2011, hlm. 9
[3] Ibid, hlm. 13
[4] Supra n.1,
hlm. 340
[5] Supra n.2,
hlm. 33
[6] Ibid.
[7] Aristides Katoppo, et.al, Satu Abad Kartini 1879-1979, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1990,
hlm. 11
DAFTAR PUSTAKA
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Jakarta, Serambi, 2008.
R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang Door Duisternis Tot Licht, Yogyakarta, Penerbit Narasi, 2011.
Aristides Katoppo, et.al, Satu Abad Kartini 1879-1979, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1990.
Comments
Post a Comment