(Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber)
Prolog
Penulisan jurnalistik menjadi salah satu cara komunikasi yang paling penting, karena saat ini publik mendapatkan informasi dari produk jurnalisme (media massa), baik itu cetak (koran, majalah, tabloid) maupun elektronik (internet).
Menulis di media massa memiliki kiat yang berbeda, karena pembacanya berasal dari berbagai kalangan. Berbeda dengan, misalnya, jurnal ilmiah yang biasanya hanya dibaca di lingkungan akademik (dosen perguruan tinggi, peneliti, mahasiswa).Sehingga, penulisan jurnalistik harus mampu menjangkau semua kalangan melalui cara dan bahasa tersendiri.
Jenis-Jenis Tulisan Jurnalistik
Ada berbagai jenis tulisan dalam media massa. Keanekaragaman ini berdasarkan cara penyampaian serta substansi masing-masing. Secara umum, tulisan jurnalistik dibagi menjadi dua kategori. Tulisan yang memberikan informasi: berita (news); feature; in-depth report; investigative report, dan lainnya. Serta tulisan yang memberikan pendapat: editorial (Tajuk Rencana); esai; dan opini.
Tulisan ini akan membahas dua jenis tulisan jurnalistik, berita (news) dan opini. Kedua tulisan ini bisa dikatakan mewakili masing-masing kategori yang telah disebutkan.
Berita
Berita adalah tulisan mengenai suatu peristiwa. Pengertian istilah "berita" sangat banyak dan belum ada kesepakatan. Tetapi praktisi jurnalisme sepakat bahwa berita harus memiliki "nilai berita" (news values).
Contoh paling umum yang dipakai untuk "nilai berita" adalah anjing dan orang, yang diutarakan Bruce D Itule. Dia mengatakan, anjing menggigit orang bukan berita, karena sudah biasa terjadi. Tetapi kalau orang menggigit anjing, pasti menjadi berita karena sifatnya yang tidak umum.
Dalam perkembangannya, pemaknaan dari Bruce D Itule sudah semakin bergeser. Kalau orang yang digigit oleh anjing itu adalah public figure, tentunya peristiwa gigitan itu tetap bisa menjadi berita. Karena itu, ada beberapa elemen "nilai berita" yang harus diperhatikan dalam menulis berita.
Immediacy. Berita harus menyajikan peristiwa yang aktual, atau baru saja terjadi. Bisa pula menyajikan fakta baru atas peristiwa yang sudah lampau.
Proximity. Pembaca akan tertarik dengan peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Jika kita di Bandung, tentu kita akan tertarik dengan permasalahan sampah, jalanan berlubang ataupun tentang factory outlet.
Conflict. Adanya perseteruan antara dua pihak. Misalnya perbedaan pendapat antara pasangan calon kepala daerah, atau sekedar perkelahian antar warga.
Oddity. Peristiwa yang jarang terjadi akan menarik perhatian masyarakat. Seperti Ponari yang dianggap memiliki kemampuan penyembuhan.
Sex. Elemen ini sering menjadi daya tarik utama dalam pemberitaan. Kasus video salah satu anggota DPR berinisial KMN kemarin, bisa menjadi contoh paling aktual.
Emotion. Faktor human interest yang dapat menggugah rasa dari masyarakat. Contoh terbaru yang dapat kita ambil, tulisan Alanda yang ibunya terseret kasus Bank Century.
Prominence. Tingkat ketenaran akan sangat berpengaruh, baik individu, tempat, ataupun hal lain.
Suspense. Adanya sesuatu yang ditunggu oleh masyarakat. Misalnya pengumuman daftar susu formula yang mengandung bakteri.
Progress. Berita memuat tentang perkembangan sebuah masalah. Isu yang cukup mendapat perhatian di tahun 2012, kebijakan kenaikan harga BBM, adalah contohnya.
Berita juga dapat dibagi menjadi beberapa kategori, seperti hard news dan soft news. Tetapi teknik penulisan berita pada intinya selalu sama. Berita harus memperhatikan unsur 5W+1H. Unsur ini mutlak dituliskan, karena pembaca membutuhkan informasi yang selengkap mungkin.
What. Apa peristiwa yang terjadi.
Who. Siapa yang ada di dalam peristiwa itu.
When. Waktu peristiwa terjadi. Bisa sejam yang lalu, atau sehari kemarin.
Where. Tempat dimana peristiwa itu terjadi.
Why. Mengapa peristiwa itu terjadi.
How. Bagaimana peristiwa itu terjadi.
Setelah 5W+1H diperoleh, langkah berikutnya adalah penulisan. Penulisan berita memakai bentuk "piramida terbalik" atau "inverted pyramid". Dengan bentuk ini, berita diawali dengan 5W+1H (berada di lead), dan informasi tambahan ditempatkan di akhir cerita. Penempatan 5W+1H di awal tulisan bertujuan agar pembaca langsung mengetahui inti peristiwa yang diberitakan. Penjelasan dari masing-masing unsur berada di bagian tubuh berita.
Ada beberapa gaya yang dikenal dalam menulis lead. Misalnya, gaya Associated Press (AP Style), kantor berita asal Amerika. AP Style menggabungkan seluruh unsur 5W+1H dalam paragraf pertama, dan lazim digunakan oleh media di seluruh dunia.
"Koalisi Anti Mafia Kehutanan (WHO) melakukan unjuk rasa (WHAT) di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta (WHERE), Jumat (3/5) (WHEN) untuk meminta penyelesaian kasus korupsi kehutanan (WHY) dengan melakukan orasi dan membagikan selebaran (HOW)."
Selain AP Style, berita juga bisa ditulis dengan gaya lain. Biasanya penulis terlebih dahulu menentukan sudut pandang atau angle yang menarik. Jika WHERE menjadi unsur yang menarik, maka sebuah berita bisa diawali dengan informasi tempat peristiwa. Hal yang sama berlaku juga untuk unsur yang lain.
Sebagai tambahan, berita harus ditulis dengan menggunakan bahasa jurnalistik. Dengan kata lain, penulisan berita harus menggunakan bahasa yang to the point, tidak bertele-tele, hemat kata, mudah dipahami disertai kalimat yang pendek-pendek. Karena pembaca media massa diasumsikan tidak memiliki waktu yang banyak.
Beberapa model kalimat dalam berita yang harus dihindari:
Adalah merupakan kenyataan, bahwa percaturan politik (“Adalah” bisa dihilangkan);
Sintaksis adalah bagian daripada Tatabahasa (“daripada” bisa dihilangkan);
Pemerintah cenderung untuk memilih kenaikan harga (“untuk” bisa dihilangkan);
Anas Urbaningrum membantah desas-desus yang mengatakan bahwa ia akan diganti (“bahwa” bisa diganti dengan koma);
PLN menderita kerugian Rp 3 juta (bisa dibuat menjadi “PLN rugi Rp 3 juta)
Opini
Meskipun bisa ditemukan di media massa dan dianggap sebagai produk jurnalisme, rubrik opini berbeda dengan berita. Jia berita didasarkan pada laporan fakta, opini didasarkan pada argumen, analisis, disertai data yang mendukung pendapat yang dikemukakan. Jenis tulisan ini bisa disebut sebagai esai yang dimodifikasi sedemikian rupa, lebih singkat, padat, sehingga gagasannya lebih mudah ditangkap oleh pembaca.
Tiga bagian utama dalam opini yaitu teras/lead, isi/body, penutup/ending. Bagian teras dalam opini memiliki fungsi yang penting. Bagian ini menjadi penentu untuk menarik perhatian pembaca agar membaca tulisan opini secara keseluruhan. Karena itu, teras harus ditulis secara ringkas namun menggugah rasa penasaran pembaca.
Teras singkat
“Dalam pemilihan ketua umum partai politik yang baru lalu, isu politik uang bergerak dari seratus juta hingga satu miliar rupiah per satu suara.”
(“Melelang Kepemimpinan Bangsa”, Saifur Rohman, Kompas, 13 Oktober 2009).
Teras bertanya
“Ada satu soal yang selalu mengganjal kebanyakan orang bila membincangkan Tan Malaka, yakni apakah dia seorang nasionalis atau seorang komunis?”
(“Tan Malaka dan Kebangkitan Nasional, Kompas, 7 Juli 2009).
Teras analogi
“Pada masa 'orde baru' dua ekor anjing berjumpa. 'Apa kabar?' Dijawab 'Cari makan susah!'. Pada masa reformasi mereka kembali berjumpa. 'Apa kabar?' Dijawab, 'Cari makan tetap susah tetapi kini saya bebas menyalak.”
(“Kabinet”, Jaya Suprana, Kompas, 17 Oktober 2009)
Isi dalam opini menjadi bagian yang menjelaskan gagasan yang ingin disampaikan. Dalam bagian ini terdapat narasi, deskripsi, kutipan dialog, data, serta informasi yang dibutuhkan dalam penyampaian gagasan. Isi/body harus ditulis dengan runut dan sesuai dengan logika bercerita, agar pembaca bisa segera menangkap gagasan tanpa harus membaca ulang sebuah kalimat atau paragraf.
Sebagai bagian terakhir, penutup harus bisa menyudahi tulisan dengan baik, agar ada keterkaitan antara penutup dengan keseluruhan gagasan. Jangan sampai penutup justru menjadikan gagasan menjadi kabur, atau malah melenceng dari gagasan asli. Penutup dapat berupa rekomendasi ataupun kesimpulan dari tulisan.
Penggunaan bahasa dalam sebuah opini tidak jauh berbeda dengan bahasa yang digunakan ketika menulis berita. to the point, tidak bertele-tele, hemat kata, mudah dipahami disertai kalimat yang pendek-pendek
Penutup rekomendasi
“Berdasarkan keenam catatan ini, ada dua hal yang perlu segera dilakukan kedua negara. Pertama, dalam jangka pendek, perlu segera melakukan dialog khususnya melalui pertemuan kepala pemerintahan, meniadakan penggelaran pasukan di wilayah sengketa, dan tidak melakukan mobilisasi politik dalam tataran domestik. Dalam jangka menengah-panjang, pekerjaan rumah yang perlu dilakukan adalah menggunakan modalitas TAS dan ASC untuk penyelesaian sengketa itu. Dalam hal ini, kedua negara perlu menyadari, diplomasi sebaiknya menjadi garis terdepan dari pertahanan kedua negara.”
(“Catatan Atas Sengketa Ambalat”, Makmur Keliat, Jurnal FISIP UI)
Penutup kesimpulan
“Lebih banyak upaya yang diperlukan. Kita memerlukan tindakan untuk masalah iklim sebelum terlambat. Jika kita bertindak sekarang, bersama, dan secara berbeda ada peluang besar untuk membentuk masa depan iklim dalam mencapai globalisasi yang aman, inklusif, dan berkesinambungan.”
(“Tahan Perubahan Iklim”, Robert B. Zoellick, Kompas, 21 Oktober 2009)
Lalu, bagaimana caranya agar tulisan opini kita bisa diterima di media? Tentunya, kita ingin karya yang telah dibuat bisa dibaca baca orang dan dipublikasikan di media yang ternama, Kompas misalnya.
Berbagai media memiliki syarat tersendiri agar karya seseorang layak ditampilkan. Pepih Nugraha, mantan “boss” saya di Kompas.com yang saat ini menjadi Redaktur Pelaksana, memaparkan 17 alasan mengapa tulisan ditolak oleh media tempatnya bekerja.
Topik atau tema kurang aktual
Argumen dan pandangan bukan hal baru
Cara penyajian berkepanjangan
Cakupan terlalu mikro atau lokal
Pengungkapan dan redaksional kurang mendukung
Konteks kurang jelas
Bahasa terlalu ilmiah/akademis, kurang populer
Uraian Terlalu sumir
Gaya tulisan pidato/makalah/kuliah
Sumber kutipan kurang jelas
Terlalu banyak kutipan
Diskusi kurang berimbang
Alur uraian tidak runut
Uraian tidak membuka pencerahan baru
Uraian ditujukan kepada orang
Uraian terlalu datar
Alinea pengetikan panjang-panjang.
Penyuntingan / Penulisan Ulang
Seperti dikemukakan di awal, tulisan adalah salah satu bentuk komunikasi yang paling penting. Esensi dari komunikasi adalah pesan yang kita sampaikan dapat dimengerti oleh pihak lain. Tentunya, esensi ini tidak akan tercapai jika tulisan kita justru membuat kening pembaca berkerut.
Metode yang dipakai oleh media massa untuk memastikan esensi komunikasi tercapai adalah penyuntingan. Redaktur atau editor melihat tulisan yang disetor oleh jurnalis atau penulis.
Kemudian, redaktur akan melihat kaidah tata bahasa, penggunaan tanda baca, hingga struktur dari tulisan, agar karya dari si penulis bisa dimengerti pembaca. Bahkan tak jarang, redaktur harus mengurangi atau menambahkan tulisan.
Mengapa penyuntingan menjadi penting? Biasanya, jurnalis atau penulis akan sulit melihat kesalahan dalam karyanya. Entah itu salah ketik hingga penggunaan tanda baca yang tidak tepat. Lagipula, jurnalis tentu merasa sudah mengerti tulisannya berhubung itu adalah karyanya sendiri.
Karena itu, diperlukan “tangan kedua” yang memastikan bahwa tulisan yang dibuat bisa mencapai esensi dari komunikasi. Media massa menggunakan metode penyuntingan karena jurnalis harus mengejar liputan dan membuat tulisan selanjutnya.
Jika kita ingin mencoba menulis, tentunya cara penyuntingan sulit dipakai. Sulit bagi kita untuk bisa menemukan orang yang bisa menjadi “redaktur” untuk karya yang sudah dibuat. Maka, cara lain yang bisa digunakan adalah penulisan ulang.
Penulisan ulang dilakukan ketika karya telah selesai dibuat. Hanya saja, kita perlu mengambil jeda sejenak sebelum melakukan penulisan ulang. Dengan jeda sejenak ini, secara otomatis kita membuat “jarak” dengan tulisan dan mata kita bisa difungsikan sebagai “redaktur”. Tanpa disadari, kita melihat kesalahan-kesalahan dalam tulisan, seperti kalimat yang boros, tidak runut, pemakaian tanda baca, hingga salah ketik.
Epilog
Meski terdapat unsur, elemen, dan kaidah dalam membuat tulisan jurnalistik, hal yang paling penting adalah LATIHAN. Kita harus terus menulis untuk mendapatkan tulisan yang enak dibaca dan mudah dimengerti. Sama seperti ketika belajar sepeda. Kita pasti terjatuh di awal proses belajar. Tetapi kita terus mencoba untuk menjaga keseimbangan sampai bisa mengendarai sepeda dengan baik.
Latihan juga membantu kita untuk menemukan gaya penulisan, yang membuat hasil tulisan kita berbeda dengan penulis lainnya. Gaya penulisan akan menjadi signature seorang penulis, sehingga pembaca bisa mengetahui tulisan
Jika profesi jurnalis menjadi pilihan karir di masa mendatang, menulis harus dijadikan sebagai kegiatan rutin yang tidak terpisahkan. Kalaupun tidak ingin menjadi jurnalis, paling tidak kita memiliki kemampuan untuk menyampaikan pemikiran, gagasan, maupun rekomendasi kepada pihak lain. Sehingga ide yang kita miliki bisa mudah dipahami dan dilaksanakan.
Referensi
Asep Syamsul Romli, Jurnalistik Terapan, Batic Press, Bandung, 2005.
Septiawan Santana, Jurnalisme Kontemporer, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005.
Zulhasril Nasir, Menulis Untuk Dibaca: Feature & Kolom, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2005.
Comments
Post a Comment