Sumber: Hukumonline.com (Rzk) |
Kerinduan untuk membaca novel dengan genre legal fiction akhirnya terjawab sudah. Setelah terakhir kali menikmati legal fiction melalui Good Lawyer 2 di tahun 2010, kali ini hadir novel bertajuk “Hitam Putih” karya Budi Satrio, seorang sarjana hukum yang meniti karir di salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia.
Budi tak bisa dibilang sebagai penulis baru, karena sebelumnya, jebolan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini, pernah menelurkan novel “Bidadari Tak Bersayap” di tahun 2009. Namun untuk genre legal fiction, ini adalah karya pertama Budi.
Layaknya formula legal fiction pada umumnya, novel Hitam Putih menyorot kehidupan advokat sebagai tema sentralnya. Dalam karyanya ini, Budi membangun karakter bernama Dewa, seorang pengacara muda yang telah menjadi partner kantor hukum B&P, di bilangan Kuningan, Jakarta.
Dewa digambarkan layaknya pengacara-pengacara sukses di umur yang relatif muda. Status single, penghasilan yang tanpa batas, apartemen elit, dan mobil mewah, memang menjadi hal yang lumrah dinikmati advokat-advokat di kantor hukum ternama.
Tak hanya itu, Dewa juga beruntung mendapatkan pasangan yang bisa dikatakan minim kekurangan. Raras, nama pasangan Dewa, adalah sosok wanita muda dengan karir yang cukup sukses di perusahaan multinasional. Sekilas, Dewa dan Raras adalah pasangan sempurna yang tidak memiliki kekurangan, baik dari segi materiil maupun immateriil.
Namun Dewa sendiri merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Harta yang lebih dari cukup, pasangan yang memenuhi kriteria, ternyata tidak bisa menutupi kepingan puzzle yang hilang dalam hidupnya. Upaya Dewa untuk mencari kepingan ini, nampaknya menjadi plot utama dalam “Hitam Putih”, yang dijahit dengan berbagai aktivitas rutin seorang pengacara.
Dewa harus menghadapi berbagai masalah “standar” seperti bawahan yang tidak mengikuti instuksinya, persaingan antar partner, hingga kasus class action (gugatan perwakilan) dan mogok buruh. Dalam beberapa kesempatan, Dewa juga harus menghadapi kelesuan hubunganya dengan Raras, sang kekasih.
Membangun sebuah plot cerita apik dengan menggunakan banyak angle memang bukan pekerjaan yang mudah. Hal inilah yang nampak dari upaya Budi untuk mengonstruksikan Dewa sebagai pengacara muda yang telah memiliki segalanya, namun merasa ada yang kurang dengan hidupnya.
Budi terlihat kesulitan untuk mengambil angle apa yang sebenarnya membuat Dewa tiba-tiba menjadi “galau”. Bahkan, Budi tidak mengelaborasi lebih jauh kegalauan bentuk apa yang sedang dihadapi dewa. Apakah ia muak dengan kemunafikan aparat hukum? Apakah dia lelah dengan pressure dari berbagai kasus yang dihadapi sebagai pengacara? Atau mungkinkah dia menjadi “galau” hanya karena keraguannya terhadap Raras?
Absennya Budi untuk mengambil angle cerita yang jelas dalam “Hitam Putih”, membuat plot cerita yang dibangun tidak terarah. Kalaupun Budi ingin membuat pembaca menerka-nerka dengan ujung cerita Dewa dan kemudian terkejut dengan ending-nya, upaya ini juga tidak berhasil karena pemaparannya melebar kemana-mana dan tidak memberikan deskripsi yang detail.
Tak hanya itu, seringkali cerita karakter Dewa juga disisipi oleh informasi-informasi yang sebenarnya tidak memberikan nilai tambah. Kasarnya, ada beberapa paragraf dan halaman, yang kalau dilewat begitu saja tidak akan mengurangi nilai dan jalannya cerita Dewa.
Seandainya Budi memilih satu angle cerita saja, bisa jadi karakter Dewa dalam Hitam Putih dapat terjahit dengan lebih baik. Bukan tidak mungkin, Budi bisa memberikan cerita yang lebih detail dan menarik tentang profesi pengacara, jika saja ada angle yang dipilih untuk menjadi benang merah cerita.
Meski demikian, upaya Budi untuk kembali membangunkan genre legal fiction di Indonesia yang sedang tidur panjang, patut diacungi jempol. Hitam Putih memberikan sebuah bacaan bermutu, yang tidak selalu berputar-putar di masalah percintaan, komedi, ataupun mistis.
Sebagai contoh, narasi yang dibangun Budi ketika Dewa menganalisis gugatan perwakilan terhadap seorang kepala daerah, bisa memberikan pengetahuan tambahan bagi mereka yang mungkin tidak familiar dengan upaya hukum selain gugatan. Namun, sekali lagi, Budi seharusnya bisa mengembangkan narasi ini lebih jauh tanpa harus merusak alur cerita—seandainya Budi memilih angle.
Melalui upayanya ini, sungguh diharapkan jika Budi mau lagi bersusah payah untuk mengkhayal dan membangun plot cerita yang lebih baik di karya legal fiction selanjutnya. Atau mungkin saja ada sarjana-sarjana hukum lain yang mau mengikuti jejak Budi di genre legal fiction dan menawarkan cerita yang lebih mumpuni. Semoga.
(sudah dipublikasikan dengan sedikit proses editing di hukumonline)
Comments
Post a Comment