Rentetan peristiwa menjelang akhir dekade 1990an selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Kesimpangsiuran informasi karena dibatasinya kebebasan pers oleh rezim Soeharto, hingga dikambinghitamkannya sebagian pihak oleh penguasa, tetap menjadi bahasan yang tak kunjung selesai. Hingga 16 tahun Reformasi pun, isu ini masih saja mengundang berbagai pertanyaan.
Pada saat itu, Soeharto masih memegang tampuk kepemimpinan Republik ini. Jargon “atas nama pembangunan” menjadi legitimasi bagi pilihan politik The Smiling General ini untuk menyingkirkan pihak-pihak yang berseberangan dengannya. Hal ini yang membuat kalangan prodemokrasi menjadi gelisah karena totalitarianisme Soeharto.
Salah satu sosok dari kalangan ini adalah Budiman Sudjatmiko, individu yang pada masa Orde Baru menjadi sinonim dengan instabilitas, kekacauan, anarki, hingga cap sebagai seorang PKI—sebuah legitimasi untuk mematikan hak politik seseorang pada era Soeharto.
Kegiatan Iko—panggilan akrab Budiman—di akhir dekade 1990an memang membuat gerah penguasa. Mengorganisasi petani dari desa untuk berdemonstrasi, mengeluarkan berbagai wacana yang bertentangan dengan pemerintah, hingga yang paling pamungkas, mendirikan partai politik dengan nama Partai Rakyat Demokratik, sebuah hal yang haram di era Soeharto.
Aktivitas politikus yang sekarang berkiprah di PDI Perjuangan ini, memang sempat menemui jalan buntu, ketika dia dipidana 13 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 1997, karena dianggap menjadi otak di balik kerusuhan Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996. Vonis ini membawanya untuk merasakan dinginnya jeruji besi di LP Cipinang, dan seakan menjadi jalan buntu bagi perjuangan dia selama ini melawan otoritarianisme Soeharto.
Kisah perjalanan Iko, alumnus University of Cambridge dan London of Oriental and African Studies, yang biasanya hanya didapatkan dari omongan mulut ke mulut ataupun dokumentasi mengenai kejatuhan Soeharto, akhirnya dibukukan oleh dirinya sendiri. Melalui karya bertajuk “Anak-Anak Revolusi”, Budiman menceritakan kisah hidupnya dari kecil yang sudah terpikat dengan masalah kemiskinan dan ketidakadilan.
Seakan sedang membuat novel, Budiman berkisah mengenai awal hidupnya di sebuah desa kecil di Jawa Tengah, tempat di mana ia mulai mendapatkan kesadaran untuk lebih sensitif atas isu-isu politik, karena kemiskinan yang begitu mendera. Tak dapat dipungkiri, karyanya ini memang mirip sebuah novel, lengkap dengan percakapan, alur maju mundur, hingga narasi yang begitu mengalir. Tidak kaku layaknya sebuah otobiografi ataupun memoar yang dibuat dengan sedemikian ajeg.
Cerita Budiman mulai duduk di bangku kanak-kanak, hingga menjadi siswa SMA, memberikan sisi lain atas sosok mantan Ketua Umum PRD ini. Tak ubahnya seperti bocah lain, dia masih suka untuk bermain dengan rekan sebayanya. Ia juga terkena virus “cinta monyet”, ketika masih duduk di bangku sekolah.
Meski demikian, sosok Budiman tetap berbeda dibandingkan teman-temannya. Ia nampaknya begitu tenggelam dalam dunianya sendiri mengenai pemikir-pemikir besar, filsafat, dan tentunya bacaan-bacaan politik. Hal ini terlihat dari kisahnya ketika dia menempuh pendidikan SMA di Yogyakarta. Ia justru lebih banyak berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa yang aktif di berbagai organisasi.
Momen terpenting dalam kisah di buku ini, yang nampaknya membuat Budiman menjadi sosok seperti sekarang adalah keputusannya untuk meninggalkan kuliah dari jurusan Ekonomi Pembangunan di UGM. Ia memilih untuk secara total terjun ke masyarakat sebagai community organizer, dan memberikan kesadaran bagi rakyat kecil untuk memulai perlawanan.
Keputusannya ini yang membuat Budiman seakan menjadi ikon untuk aliran sosial-demokrat, yang progresif dan revolusioner. Otomatis, cap “kiri” juga dilekatkan kepadanya. Tak salah memang, karena ideologi yang dianut Budiman dalam memperjuangkan cita-citanya memang terkenal sebagai ideologi “kiri” di berbagai belahan dunia manapun.
Yang membuat kisah Budiman menjadi menarik adalah ketika ia berani untuk memutuskan menjadi “kiri”, meski berisiko lehernya ditebas oleh penguasa. Padahal, kenyamanan untuk menjadi bagian dari penguasa tentu bisa dipilih Budiman, mengingat kemampuan otaknya yang jelas di atas rata-rata.
Tentu saja, meski kisahnya sungguh menarik, ada beberapa hal yang mungkin sedikit mengganjal ketika membaca buku ini. Yang pertama adalah pemilihan penuturan cerita yang selang-seling. Kisahnya dalam menghadapi rezim Orde Baru diselipkan di tengah-tengah cerita dirinya yang sedang beranjak dari SD menuju SMP, SMP menuju SMA, dan SMA menuju kuliah.
Walau Budiman memilih untuk mencetak miring narasi yang diselip-selipkan ini demi memudahkan pembaca, tetap saja ada kejanggalan ketika sedang menikmati keluguan bocah asal Majenang, dan tiba-tiba harus menerima kisahnya ditangkap oleh militer. Harus diakui, ini adalah pilihan yang menarik, untuk menghindari kebosanan dalam membaca semua memoar/otobiografi. Namun bagi sebagian orang, bisa saja pilihan ini justru mengganggu alur cerita.
Yang kedua adalah terlalu banyaknya kutipan-kutipan, catatan kaki, hingga penjelasan atas berbagai filosofi, teori politik, teori ekonomi, hingga berbagai langkah-langkah demonstrasi. Hal ini memang cukup subjektif, karena bisa saja sebagian pembaca justru menyukai tingkat keseriusan seperti ini.
Hanya saja, informasi-informasi di luar kisah pribadi Budiman, seakan menjadi glorifikasi atas pengetahuan Budiman yang begitu luas. Kasarnya, Budiman ingin “menyombongkan” pengetahuan yang ia telah dapat sejak SD, hingga perkuliahannya di Inggris.
Terlepas dari hal-hal yang mengganjal itu, “Anak-Anak Revolusi” layak menjadi sebuah referensi wajib bagi mereka yang peduli atas kondisi bangsa ini. Paling tidak, menjadi bacaan bagi mahasiswa yang akan memasuki dunia pergerakan. Walau karya Budiman belum sefenomenal “Catatan Seorang Demonstran”-nya Soe Hok Gie—kitab suci para aktivis mahasiswa—buku ini tetap layak menjadi referensi yang inspiratif bagi mereka yang sedang atau telah memasuki dunia pergerakan mahasiswa.
Terakhir, meski ideologi “kiri” yang diusung oleh Budiman mungkin tidak pas bagi sebagian kalangan, keteguhannya untuk memegang idealisme patut dijadikan sebagai inspirasi bagi kita semua, yang ingin memperjuangkan sesuatu. Walau kita tidak memilih jalur “kiri”, paling tidak inspirasi dari kiri ini bisa membuat kita mengubah bangsa dan lingkungan kita menjadi lebih baik.
Comments
Post a Comment